Meskidemikian setidaknya ada dua faktor mengapa Nabi SAW hijrah. Pertama, karena penganiayaan kaum Quraisy terhadap Muslim di Makkah. Setelah jumlah Muslim di dalam dan sekitar Mekah mulai meningkat, kaum Quraisy mulai merasa bahwa situasi akan memihak kepada Islam, dan juga bertentangan dengan banyak kepentingan, ekonomi dan sosial mereka.Ada yang berargumen bahwa Nabi Muhammad hanya nabi terakhir dan bukan rasul terakhir. Namun hadis di bawah menunjukkan bahwa Nabi Muhammad bukan hanya Nabi terakhir, tapi juga Rasul terakhir Rasulullah SAW menegaskan "Rantai Kerasulan dan Kenabian telah sampai pada akhirnya. Tidak akan ada lagi rasul dan nabi sesudahku". Tirmidzi, Kitab-ur-Rouya, Bab Zahab-un-Nubuwwa; Musnad Ahmad; Marwiyat-Anas bin Malik. Banyak alasan yang menjelaskan bahwa Rasulullah SAW sebagai nabi terakhir dan tidak ada lagi nabi sesudahnya. 1. Surah Al-Ahzab 40. 2. Hadis Nabi yang diriwayatkan Muslim, saat Rasul melaksanakan haji wada' perpisahan. "Wahai manusia, tidak ada nabi atau rasul yang akan datang sesudahku dan tidak ada agama baru yang akan lahir. Karena itu, wahai manusia, berpikirlah dengan baik dan pahamilah kata-kata yang kusampaikan kepadamu. Aku tinggalkan dua hal Alquran dan sunah, contoh-contoh dariku; dan jika kamu ikuti keduanya kamu tidak akan pernah tersesat." 3. Rasulullah SAW menjelaskan "Suku Israel dipimpim oleh Nabi-nabi. Jika seorang Nabi meninggal dunia, seorang nabi lain meneruskannya. Tetapi tidak ada nabi yang akan datang sesudahku; hanya para kalifah yang akan menjadi penerusku Bukhari, Kitab al-Manaqib. 4. Abu Dawud dan yang lain dalam hadis Thauban At-Thawil, bersabda Nabi Muhammad SAW "Akan ada pada umatku 30 pendusta semuanya mengaku nabi, dan saya penutup para Nabi dan tidak ada nabi setelahku." Masih banyak lagi hadis yang menjelaskan tentang Rasulullah SAW adalah nabi dan rasul terakhir. Ibnu Katsir ketika menafsirkan ayat 40 surah al-Ahzab menyatakan, Isa adalah nabi dan rasul terakhir dari bani Israel. Rasulullah SAW, memiliki berbagai macam julukan dan nama. Diantaranya Ahmad, Muhammad, Musthafa, Thoha, dan lainnya. "Saya Muhammad, Saya Ahmad, Saya Pembersih dan kekafiran harus dihapuskan melalui aku; Saya Pengumpul, Manusia harus berkumpul pada hari kiamat yang datang sesudahku. Dengan kata lain, Kiamat adalah satu-satunya yang akan datang sesudahku; dan saya adalah Yang Terakhir dalam arti tidak ada nabi yang datang sesudahku". HR Bukhari dan Muslim, Kitab al-Fada'il. Tanda-tanda kenabian dan kerasulan Muhammad SAW juga diungkapkan Waraqah bin Naufal, saudara sepupu Khadijah RA, Waraqah adalah pemeluk beragama Nasrani. Benar sekali bahwa Waraqah bin Naufal, kakak sepupu Khadijah sebagai orang Kristen, namun Kristen yang masih mengikuti millah Ibrahim yang hanif. Tapi, pengakuan Waraqah tentang kenabian Nabi SAW perlu dilihat dengan kritis. Setelah berbicara tentang sosok Jibril yang datang kepada Nabi SAW di Gua Hira’, Waraqah menyatakan ''Jika itu benar wahai Khadijah, berarti Muhammad adalah 'Nabi umat ini'. Dan aku sudah tahu bahwa dia adalah seorang nabi yang ditunggu-tunggu nabiyyun yuntazhar oleh umat ini. Ini adalah masanya.'' Ibnu Hisyam, al-Sirah al-Nabawiyyah, 1988, 1 228. Bahkan, dia menambahkan, ''Seandainya aku ketika itu saat Nabi SAW dimusuhi oleh kaumnya dan dikeluarkan dari Makkah dalam keadaan kuat sehat dan kokoh dan masih hidup, niscaya aku akan menolongmu sekuat tenagaku.'' Ibnu Katsir, al-Bidayah wa al-Nihayah, 1998, 3 6. sumber Harian RepublikaBACA JUGA Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Klik di Sini
pertama ulama golongan pertama berpendapat bahwa rasulullah -shallallahu 'alaihi wa sallam- telah menjelaskan dan menafsirkan semua bagian yang ada dalam al-quran berdasarkan firman allah dalam surat an-nahl ayat ke 44 yang artinya, "dan telah kami turunkan kepadamu (muhammad) ad-dzikra untuk menjelaskan kepada manusia apa yang diturunkanDalam kajian ilmu hadits, para ulama kebanyakan menyebutkan bahwa permulaan hadits disusun dan dicatat adalah sekitar abad kedua Hijriyah oleh Ibnu Syihab az Zuhri, atas titah Khalifah Umar bin Abdul Aziz dari Dinasti Umayyah. Pendapat ini dikuatkan oleh Imam Malik bin Anas. Disebabkan oleh jauhnya jarak waktu antara masa hidup Nabi dengan mulai disusunnya kitab-kitab hadits, hal ini menjadi sasaran kritik pengkaji hadits orientalis maupun kalangan Muslim sendiri. Keaslian hadits sebagai sumber hukum Islam diragukan. Mereka menyebutkan bahwa keterlambatan penyusunan hadits ini disebabkan beberapa kecenderungan. Pertama, konon budaya lisan di periode awal Islam lebih populer bagi kalangan sahabat dan tabi'in, begitu pula kemampuan hafalan mereka yang luar biasa. Alasan kedua adalah memang Nabi melarang para sahabat untuk menulis hadits. Kemudian yang terakhir, para sahabat memang kebanyakan tidak mampu menulis. Bagaimana mungkin sejarah yang sudah terpaut nyaris dua abad bisa dicatat secara tepat? Sejauh mana budaya lisan bisa dipercaya dibanding tulisan? Menjawab hal itu, seorang Begawan hadits Syekh Muhammad Mustafa Azami menyatakan bahwa hadits Nabi telah dicatat sejak masa sahabat. Dalam bukunya yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia berjudul Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya, Syekh Azami menyimpulkan beberapa catatan penting terkait bagaimana hadits sebenarnya telah dicatat sejak masa Rasulullah hidup. Para sahabat, berikut tabi'in pendahulu, dianggap lebih mengutamakan kemampuan hafalan dan budaya lisan. Hal ini menjadi musykil melihat realitas bahwa meski kecerdasan seseorang bisa sangat hebat, namun tak bisa dipungkiri bahwa melakukan generalisir, gebyah uyah, bahwa seluruh sahabat memang hebat hafalannya adalah kesimpulan yang terburu-buru. Kecerdasan manusia tentu sangat beragam. Maka, pencatatan hadits dibutuhkan sejak masa awal Islam. Selanjutnya adalah larangan Rasulullah untuk menulis hadits. Azami meneliti sekian hadits yang menjadi alasan bahwa hadits dilarang ditulis oleh Rasulullah. Dari sekian riwayat, hanya satu yang menurut beliau bisa dipertimbangkan, yaitu riwayat dari Abu Said al Khudri dalam Shahih Muslim. لَا تَكْتُبُوا عَنِّي، وَمَنْ كَتَبَ عَنِّي غَيْرَ الْقُرْآنِ فَلْيَمْحُهُ، وَحَدِّثُوا عَنِّي، وَلَا حَرَجَ، وَمَنْ كَذَبَ عَلَيَّ - قَالَ هَمَّامٌ أَحْسِبُهُ قَالَ - مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ Artinya “...Janganlah menulis ucapanku, dan barangsiapa menulis ucapanku selain Al-Qur’an, hendaknya ia menghapusnya. Dan barangsiapa mendusta atas diriku – kata Hammam, saya kira. Nabi bersabda – dengan sengaja, maka bersiaplah untuk masuk neraka.” Terkait larangan Nabi untuk menulis hadits sebagaimana di atas, Imam Khatib al-Baghdadi menyebutkan bahwa beberapa sahabat dan tabi’in memiliki motif tersendiri mengapa mereka enggan untuk mencatat hadits. Salah satu alasan yang populer adalah khawatir tercampurnya isi hadits dengan Al Qur’an. Nabi melarang menulis hadits, bersamaan dengan menulis Al-Qur’an alih-alih di lembar yang sama agar tidak campur aduk. Demikian penjelasan hadits di atas, sebagaimana dijelaskan Imam an-Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim. Nabi selama hidup banyak berurusan dengan banyak penguasa di luar surat menyurat dari Nabi kepada mereka. Dengan demikian, tentunya para sahabat banyak yang memiliki kemampuan menulis yang baik untuk tugas menulis surat itu. Begitupun Al-Qur’an yang juga banyak ditulis di lembaran maupun pelepah kurma. Alasan bahwa kebanyakan sahabat tidak dapat menulis dapat terbantahkan. Banyak hadits-hadits shahih yang menyebutkan bahwa Nabi mengizinkan para sahabat untuk menulis hadits dari beliau, baik yang berupa surat, maupun pernyataan dan ibadah beliau. Beberapa sahabat seperti Abdullah bin Amr bin Ash, Ali bin Abu Thalib, disebutkan pernah menulis hadits dari Nabi. Dari berbagai keterangan di atas, penting diketahui meskipun para sahabat dan tabi'in masa awal sangat memerhatikan kemungkinan tercampurnya lafal Al-Qur’an dan hadits, namun hal ini tidak menghalangi bahwa Nabi sendiri sudah memperkenankan hadits-hadits dari beliau untuk dicatat dan disebarkan ke generasi selanjutnya. Maka menolak hadits karena alasan bahwa ia tidak tercatat sedari masa Nabi, agaknya kurang tepat. Nabi sendiri memperkenankan hadits dan ucapan beliau ditulis selama tidak bersamaan dengan Al-Qur’an. Penjelasan ini kiranya dapat menambah semangat untuk mempelajari pribadi Nabi secara bijak. Wallahu a’lam. Muhammad Iqbal Syauqi
Seorangustadz beraliran wahabi berfatwa bahwa "orang tua nabi penghuni neraka". Khalid Basalamah berulang kali menyebutkan "ulama hadits". Padahal ulama yang berhak melakukan ijtihad dan istinbat (menetapkan hukum perkara) atau ulama yang berhak untuk menggali hukum dari Al Qur'an dan as Sunnah (Hadits) adalah para fuqaha (ahli
loading...Seumur hidup beliau, Nabi Muhammad SAW tidak pernah mengumandangkan adzan ternyata ada sebabnya. Foto ilustrasi muazin/Ist Mengapa Nabi Muhammad shollallohu 'alaihi wasallam SAW tidak pernah mengumandangkan adzan ? Simak alasannya berikut ini. Sebagaimana diketahui pada masa Rasullullah SAW, adzan selalu dikumandangkan oleh beberapa sahabat di antaranya Bilal bin Robbah, Ibnu Ummi Maktum, Abu Mahzurah, dan Sa'ad Al-Qarazh radhiyallahu 'anhum. Inilah sahabat yang menjadi muazzin juru Adzan Rasulullah SAW. Lalu, apa alasan Nabi Muhammad SAW tidak mengumandangkan Adzan? Habib Abdurrahman Assagaf Ternate dalam satu kajiannya mengatakan, ada satu hikmah besar yang patut diketahui bahwa Nabi Muhammad SAW sangat menyayangi umatnya melebihi diri beliau SAW seumur hidup tidak pernah mengumandangkan Adzan sebelum didirikannya sholat berjamaah, ternyata ada sebabnya. Alasannya adalah Nabi khawatir jika Beliau mengumandangkan Adzan, sampai pada kalimat حَيَّ عَلَى الصَّلاَةِ "hayya 'alass sholah" mari dirikan sholat, kemudian di saat itu tidak ada yang datang ke masjid, maka umatnya akan demikian? Karena menjawab panggilan Nabi itu hukumnya wajib dan harus segera ditunaikan. Rasulullah SAW takut kelak membebani Abdurrahman Assagaf juga menerangkan, apabila Nabi Adzan maka dikhawatirkan akan menjadi suatu perkara yang wajib. Perlu diketahui secara hukum, sholat berjamaah di masjid hukumnya ada khilaf di kalangan ulama Fuqaha. Dalam Mazhab Syafi'i ada 2 pendapat yang tarjih kuat. Pertama menyebutkan bahwa sholat berjamaah di masjid hukumnya fardhu kifayah menurut Imam An-Nawawi 631-676 H. Artinya, jika sholat berjamaah itu dikerjakan beberapa orang saja, maka gugurlah kewajiban muslim yang lain. Pendapat kedua mengatakan Sunnah Mazhab Hambali dan Hanafi mengatakan sholat berjamaah di masjid hukumnya wajib. Kesimpulannya terjadi khilaf di kalangan ulama terkait hukum sholat berjamaah ke topik di atas, seandainya dulu Rasulullah SAW mengumandangkan adzan, maka sholat berjamaah mutlak menjadi wajib karena ada kalimat "hayya 'alas sholah" yang diserukan oleh Nabi. Artinya, yang terlambat datang ke masjid akan berdosa, yang tidak datang ke masjid akan berdosa."Nabi tidak mau memberatkan umatnya, maka beliau tinggalkan adzan. Yang diperintah untuk mengumandangkan Adzan pada masa Belia adalah Sayyidina Bilal, Abdullah Ibnu Ummi Maktum. Inilah bentuk kasih sayang Nabi kepada umatnya," jelas Habib sebabnya dalam Al-Qur'an Surat At-Taubah, Nabi Muhammad SAW disifati dengan Ar-Rauf sangat mengasihi sifat Ar-Rahim penyayang yang termasuk sifatnya Allah Ta'ala. Kedua sifat ini Allah berikan kepada kekasih-Nya Nabi Muhammad جَآءَكُمۡ رَسُوۡلٌ مِّنۡ اَنۡفُسِكُمۡ عَزِيۡزٌ عَلَيۡهِ مَا عَنِتُّمۡ حَرِيۡصٌ عَلَيۡكُمۡ بِالۡمُؤۡمِنِيۡنَ رَءُوۡفٌ رَّحِيۡمٌArtinya "Sungguh telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaan yang kamu alami, dia sangat menginginkan keimanan dan keselamatan bagimu, penyantun dan penyayang terhadap orang-orang yang beriman." QS At-Taubah Ayat 128Demikian alasan mengapa Nabi Muhammad SAW tidak pernah mengumandangkan adzan. Beliau sangat menyayangi umatnya dan tidak mau memberatkan umatnya. Baca Juga Berikut Tusiyah Habib Abdurrahman Assagaf disiarkan Channel AQSHAGHAFI 9 November 2021 rhs
.